JAKARTA - Kemeriahan peringatan hari buruh yang dirayakan tepat pada tanggal 1 Mei 2022 di berbagai media massa seakan bertolak belakang dengan nasib ketujuh buruh anak buah kapal (ABK) Warga Negara Indonesia (WNI) yang "hilang" saat bekerja di kapal ikan asing. Enam buruh ABK menjadi kru di kapal ikan Wei Fa dan satu buruh ABK di Kapal De Hai. Kedua kapal itu berbendera Taiwan. Wei Fa disebutkan angkat jangkar dari dermaga Mauritius pada 26 Februari 2021 sebelum dinyatakan hilang di laut oleh aparat keamanan Mauritius.
Pada medio 2 Maret 2021, dengan segala dayanya aparat keamanan Mauritius berhasil menarik kembali kapal itu ke Ibu Kota Port Louis. Tetapi 7 ABK WNI sudah tidak ditemukan di kapal tersebut. Hingga saat ini, dimana peristiwa tersebut sudah terjadi 1 tahun lebih, tapi nasib 7 ABK Warga Negara Indonesia tersebut tak kunjung jelas.
Pengamat Maritim dan juga pendiri dari Dewan Pimpinan Pusat Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI), Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, SSiT., M.Mar, menanggapi 7 ABK yang hilang dari kapal ikan Wei Fa tersebut.
Dia menyebutkan langkah Pemerintah Indonesia dan lembaga bantuan hukum dan HAM Padma Indonesia yang mewakili salah satu pihak keluarga korban kepada pihak aparat keamanan Mauritius sudah cukup baik.
Baca juga:
Tantangan Visi Reformasi Birokrasi
|
"Langkah Pemerintah Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum dan HAM Padma Indonesia untuk mengetahui kejelasan kasus hilangnya 7 ABK WNI di perairan Mauritius sudah cukup baik. Ini bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk kepedulian terhadap warga negara Indonesia yang bekerja sebagai pekerja migran di luar negeri. Sudah sepatutnya pemerintah menagih kejelasan kasus ini ke pihak aparat keamanan Mauritius, " tegas Capt. Hakeng kepada Media. Minggu (1/5/2022).
Capt. Hakeng seraya mengingatkan pemerintah, "Dengan semangat hari buruh yang tepat dirayakan secara Internasional di tanggal 1 Mei 2022 ini, saya meminta Pemerintah untuk bisa bergerak cepat. Ingat, kasus ini sudah berjalan satu tahun lebih. Jangan sampai rakyat menilai pemerintah lamban dan kurang peduli dengan nasib buruh yang merupakan pekerja di atas kapal di luar negeri. Karena itu saya usulkan dibentuk tim investigasi lintas instansi. Tim dibentuk guna mendapatkan informasi lebih akurat dan up date terkait hilangnya 7 ABK pekerja migran Indonesia (PMI) tersebut, " tegasnya.
Dia menyerukan pula seharusnya Pemerintah dapat mengirimkan tim penyelidik ke Mauritius. Tim bekerja guna mendapatkan kejelasan peristiwa yang terjadi. "Saya melihat urgensi untuk mendorong pemerintah agar dapat mengusahakan pihak interpol masuk ke dalam kasus ini. Sehingga bisa mempercepat penyelesaian kasus yang terjadi, " serunya.
Capt. Hakeng yang juga sebagai Sekretaris Jenderal di Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Maritim Indonesia (FORKAMI) meminta kepada Pemerintah agar bisa juga memberikan fokus pada penguatan pengetahuan sumber daya manusia di bidang transportasi laut, terutama berkaitan dengan aspek hukum kemaritiman. Apalagi mengingat Indonesia merupakan negara maritim dan pelautnya banyak yang bekerja pula di kapal-kapal asing.
Baca juga:
Tony Rosyid: Kekacauan Negara di Era Jokowi
|
"Tidak banyak pelaut Indonesia yang memahami aturan terkait hukum maritim, kepabeanan, imigrasi, sehingga tanpa disadari ada tindakan yang berpotensi masuk ke dalam ranah hukum pidana yang ada di setiap negara. Karena itu tugas Pemerintah dan stakeholder untuk mempersiapkan pelaut yang memiliki keahlian dan pengetahuan mumpuni, " pungkasnya. (*)
Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, SSiT., M.Mar, (Pengamat Maritim dan juga pendiri dari Dewan Pimpinan Pusat Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI).