Manado - Tidak sia-sia mengikuti pelatihan foto dan video di Manado yang kondang dengan sebutan Bumi Nyiur ini. Setelah seharian maraton menyimak paparan materi seputaran foto, video dan konten medsos, peserta pelatihan berkesempatan ke TWA Batuputih untuk mengaplikasikan materi tersebut dalam bentuk foto maupun video.
Perjalanan melelahkan ke Taman Wisata Alam Batuputih di Bitung sontak terobati, setelah menjumpai gerombolan hewan endemik bulu berwarna hitam legam, berbokong warna pink khas Sulawesi Utara dimana keberadaannya terancam punah. Rabu, 15 Desember 2021.
Yaki, Monyet Hitam yang memiliki nama ilmiyah macaca nigra ini seluruh tubuhnya berbulu hitam. Ciri khas lain dari primata satu ini berjambul ala anak punk dan pantat berwarna merah sedikit pink.
Hutan Taman Wisata Alam Batuputih berada di dalam Taman Nasional Tangkoko. Secara administrasi, hutan wisata alam ini masuk dalam wilayah Desa Batu Putih, Bitung Utara, Sulawesi Utara ini, kita juga dapat melihat Tarsius--primata terkecil di dunia dengan panjang tubuh maksimal 10 cm, bermata besar dengan kepala yang dapat berputar 180 derajat.
Namun, sayangnya karena keterbatasan waktu saat melakukan pengambilan foto dan video, sehingga tidak berkesempatan menjumpai sosok mungil ini.
Sekitar pukul 08.00 WITA pagi bersama rombongan beranjak keluar dari hotel menggunakan bus wisata. Siang hari rombongan baru tiba di TWA Batuputih. Bergegas rombongan peserta pelatihan menuju gerombolan Yaki berkumpul, sebelumnya telah mendapat pengarahan dari petugas TWA Batuputih di kota Bitung.
Dalam sekejap mata lensa kamera membidik keberadaan gerombolan Yaki yang "sengaja" berkumpul menjumpai rombongan peserta pelatihan untuk diabadikan sebagai bahan dokumentasi dan pembuatan video.
Yaki si Monyet Hitam ini memakan jenis buah-buahan, daun, biji-bijian, bunga, hingga umbi-umbian. Mirisnya, beberapa ekor Yaki itu terlihat bergumul bersama botol kemasan sisa air minum yang dibawa manusia dan dibuang disitu.
Setelah puas mengabadikan keberadaan Yaki tersebut, petualangan pun berlanjut menyusuri rimbunnya pepohonan di TWA Batuputih, membelah jalan setapak yang telah di pavling blok menuju pantai berpasir hitam pekat, biasanya di tepian pantai pasirnya putih, namun disini (TWA Batuputih Bitung) pasirnya hitam, entah kenapa, silahkan cari sendiri ya guys!.
Yaki dan juga Tarsius endemik Sulawesi Utara ini merupakan satwa-satwa eksotis asli Indonesia yang terus mengalami berbagai ancaman. Mulai dari pemburu hingga perusakan habitat aslinya.
Sesuai Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, Yaki termasuk ke dalam salah satu satwa yang dilindungi. Dimana keberadaannya semakin langka, mengkhawatirkan, dan terancam punah. Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) Yaki dalam status Critical Endagered (terancam punah).
Hal senada diatur dalam Peraturan MenLHK Republik Indonesia Nomor 20/Menlhk/Setjen/KUM.1/6/2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Selain dari pada itu, persoalan sampah masih menjadi bencana tahunan yang tidak boleh dianggap sepele lho bro.
Keindahan alam Indonesia memang terkenal hingga mancanegara, apalagi panorama Taman Wisata Alam Batuputih di Bitung ini. Sayangnya, tempat wisata alam satu ini bakal terancam rusak keindahan alamnya. Salah satu penyebabnya ditemukannya sisa-sisa sampah yang ditinggalkan pengunjung itu sendiri. Atau boleh jadi sampah itu terbawa arus ombak laut. Entahlah, apapun alasannya sampah masih menjadi permasalahan klasik yang tak pernah berujung.
Sangat disayangkan apabila melancong ke Taman Wisata Alam Batuputih yang sudah tercipta begitu indah malah harus rusak karena ulah tangan manusia?
Sebagaimana diketahui selama ini masyarakat memproses sampah dengan cara dibakar. Cara konvensional ini justeru membahayakan dan menimbulkan kandungan dioksin sehingga bisa meracuni ekosistem sekitar TWA Batuputih serta membahayakan kesehatan manusia dan primata Macaca Nigra.
Harapannya, TWA Batuputih di Bitung dapat dikelola dengan baik, bukan hanya konservasinya saja tapi permasalahan sampah harus menjadi prioritas sehingga meminimalisir keberadaan sampah, khususnya jenis plastik, styrofoam, botol kaca hingga kaleng.
Sehingga sampah tidak menjadi musibah melainkan menjadi berkah bagi orang-orang yang berfikir.